
Minggu, 07 Agustus 2011
Semenjak resmi menjadi Guru Istana Hastinapura, nama Pandita Durna terangkat dan tersebar karenanya. Bahkan namanya tersebar juga di negara-negara tetangga Hastinapura. Tokoh-tokoh penting dari penjuru negara, berguru kepadanya. Kecuali dari Negara Pancalaradya, hal tersebut dikarenakan adanya hubungan yang tidak baik antara Rajanya Drupada yang nama kecilnya Sucitra dengan Durna atau Kumbayana saudaranya, perseteruan dan dendam antara Prabu Drupada dan Pandita Durna tetap ada padahal mereka adalah orang-orang mulai yaitu seorang Raja dan Resi.
Gandamana sang penyiksa Durna pada saat itu mulai menyadari dan melihat kesalahan yang telah dibuatnya bertahun-tahun yang lalu. Kini dia merenung lagi kepada peristiwa itu …
Awalnya, menyusul peristiwa penganiayaan Kumbayana oleh Gandamana, Prabu Drupada tidak tega melihat luka yang diderita Kumbayana, maka ia membiarkannya tinggal di tapal batas wilayah Pancalaradya yang bernama Sokalima.
Namun pada saat dia mendengar Sokalima menjadi besar dan kuat. Prabu Drupada khawatir bahwa Kumbayana akan memanfaatkan kekuatan Sokalima untuk melampiaskan dendam kepadanya.
Memang benar, dendam di hati Pandita Durna senantiasa masih menyala dalam sekam hatinya. Jika tiba saatnya ia akan membuka sekam itu, supaya nyalanya menjadi besar dan membakar sasaran dendamnya yaitu Prabu Durpada dan Gandamana.
Dendam mengandung daya penghancur yang luar biasa. Si penyimpan dendam tidak akan pernah bisa merasakan bagaimana cara kerja dendam dalam penghancuran hidup dan kehidupan. Seperti dendam yang tumbuh atau lebih tepatnya ditumbuhkan dan dipelihara di hati Durna.
Sebagai Maha Guru ia memang sibuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para murid-muridnya, tetapi tujuan utamanya bukan untuk kemajuan para muridnya, melainkan untuk rencana pelampiasan dendamnya kepada Prabu Durpada dan Patih Gandamana. Sungguh luar biasa, dendam tidak akan pernah berhenti sebelum ‘tuan’nya hancur.
Dikarenakan yang menjadi tujuan utama pengajaran di Sokalima adalah pembalasan sakit hati, maka pesan Resi Bisma kepada Durna agar tidak lupa menanamkan rasa saling mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi ampun kepada Kurawa dan Pandhawa menjadi tidak tersampaikan dengan benar.
Dendam itu pulalah yang telah menyeret Pandita Durna untuk memperlakukan murid-muridnya dengan tidak sama, serba pilih-kasih. Murid yang satu diemban dengan kain cindhe sedangkan murid yang lain diemban dengan siladan (kulit bambu). Diantara ratusan muridnya, Bimasena dan Harjuna mendapat perlakuan istimewa bahkan melebihi Aswatama anaknya sendiri.
Karena mereka berdua yang memang sebelumnya gemar berguru kepada orang-orang sakti, mempunyai kemampuan di atas rata-rata, bahkan kesaktiannya jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Melalui Bimasena dan Harjuna inilah, Durna berharap dendamnya kepada Prabu Drupada dan Gandamana dapat dilampiaskan.
“Salahkan aku, sebagai guru menaruh perhatian istimewa kepada murid-murid yang pintar? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh dan pintar seperti mereka.”
Bima dan Arjuna terkadang merasa dadanya kembang kempis, sementara disisi lain ratusan Kurawa semakin membenci mereka.
Demikianlah Durna selalu membela diri, mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Tanpa pernah mengakui bahwa itu semua adalah buah karya dari dendamnya yang tetap hidup di sekam.
Walaupun tenaga Durna yang memang tidak sempurna lagi, namun ilmunya itu telah ditumpahkan kepada murid-muridnya, tidaklah mudah membentuk orang-orang sakti dalam waktu singkat. Beberapa tahun berlalu, semenjak Durna mengangkat murid Pandhawa dan Kurawa, namun Durna merasa belum ada satupun muridnya yang kemampuannya berada diatas kemampuan Gandamana, musuh dalam hatinya, termasuk juga Bimasena dan Harjuna, murid andalannya.
Pada suatu pagi, sebelum matahari terasa panas sinarnya. Durna berdiri diatas panggungan, dengan matanya yang tajam, ia mengamati sepasang demi sepasang muridnya di arena latih tanding.
Ketika tiba gilirannya pasangan Bimasena dan pasangan Harjuna menunjukkan kemampuannya, ia tersenyum puas melihat ilmu kedua murid kesayangan tersebut maju dengan pesat. Namun apakah kemampuan mereka cukup memadai untuk menandingi Gandamana? Siang-malam Durna senantiasa berharap agar saat pembalasan segera tiba. Ia ingin melunasi janjinya kepada Aswatama, sewaktu anaknya menangis melihat luka-luka yang dideritanya. “Jangan menangis Aswatama bocah bagus, bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan di depanmu pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana….. hrrrmh”
◘◘◘
Di Keraton Cempalaradya pada suatu malam, Gandamana sang patih tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Waktu telah tepat menunjukkan pukul dua dinihari. Jatungnya masih berdetak keras. Mimpi yang baru saja datang dalam tidurnya, membuat hatinya bergetar. Dalam mimpi tersebut ia didatangi Prabu Pandudewanata, rajanya yang dahulu.
“Patih Gandamana, apakah engkau masih setia padaku?”
“Adhuh Sinuwun Prabu, aku selalu setia kepada Hastinapura dan Prabu Pandudewanata sampai akhir hayatku.”
“Terimakasih Gandamana, aku menginginkan bukti dari apa yang engkau katakan.” Prabu Pandu mengutarakan sesuatu.
“Sinuwun Prabu, apakah yang Paduka kehendaki atas diriku ini?”
“Bersiaplah mengikuti aku ke medan perang!”
“Baiklah Sinuwun, di mana dan berapa pasukan mesti hamba persiapan?”
“Aku tidak memerlukan pasukan kerajaan. Cukup engkau seorang.” Prabu Pandudewanata tersenyum, sebentar kemudian hilang dari pandangan.
Aku tiba-tiba sudah berada di medan pertempuran yang sengit. Mereka saling membunuh dengan ganas. Jantungku berdegup keras, selama menjadi Patih Hastinapura baru kali ini aku melihat pertempuran yang lebih dahsyat dari ‘Perang Pamukswa’ perang antara Hastinapura dan Pringgandani.
Aku menebarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin, dan dengan jelas melihat bahwa pertempuran tersebut melibatkan empat raja. Yang membedakan antara raja yang satu dengan raja yang lainnya adalah warna pakaiannya, termasuk bala tentaranya.
Raja yang berpakaian serba Merah, bala tentaranya berpakaian serba merah. Raja yang berpakaian Hitam, bala tentaranya juga berpakaian serba Hitam. Demikian juga raja yang berpakaian Kuning dan Putih. Diantara raja-raja tersebut, aku tidak melihat Prabu Pandudewanata junjunganku. Dimanakah beliau berada? Bukankah beliau yang mengajakku ke medan perang?
Sebelum pertanyaanku terjawab, tiba-tiba ke empat raja beserta pengikutnya menyerang aku. Puluhan ribu senjata diacung-acungkan kepadaku. Sungguh mengerikan sekujur tubuhku bergetar. Sebentar lagi badanku akan lumat dicincang mereka. Namun aku tidak bisa meninggalkan medan perang. Aku bukan pengecut. Apa lagi aku telah berjanji kepada Prabu Pandudewanata untuk ikut ke medan perang, bertempur sampai titik darah penghabisan.
Maka aku songsong mereka dengan muka tegak dan dada terbuka. Dhuaarr! Benturan dahsyat terjadi, aku terbangun.
…
Sementara kidung malam masih menyisakan suaranya, pikiran Gandamana menerawang jauh di masa lampau, ketika ia masih menjadi Maha Patih Hastinapura. Kenangan bersama Prabu Pandudewanata sungguh membangkitkan kerinduan. Rindu masa-masa kejayaan, rindu kepada Raja yang ia cintai dan hormati.
Namun kini semua tinggal kenangan, Prabu Pandu Dewanata telah memasuki alam keabadian. Namun ia masih berkenan mengunjungi aku. “Apakah Sang prabu juga rindu kepadaku? Aku sangat bahagia karenanya, Sang Prabu meninggalkan senyum abadi kepadaku. Meskipun hanya di dalam mimpi.
Resi Durna...
Durna
Oktober 21, 2009 oleh aljoez

Bagaikan orang gila aku masuk keluar dusun. Tidak mudah mendapatkan keterangan keberadaan Pertapaan Saptaarga. Karena orang pada takut berdekatan denganku dan Tanah Jawa sangat luas.
Aku tersesat di Negara Pancalaradya. Dari cerita ‘mbok bakul sinambi wara’ bahwa Raja yang bertahta bernama Prabu Durpada. Yang menarik perhatianku bahwa sang raja adalah salah satu murid Begawan Abiyasa yang berasal dari negeri seberang. Ada dorongan yang sangat kuat untuk bertemu kepada Prabu Drupada. Apapun yang terjadi aku ingin menghadap raja.
Aku pria bernama Durna merasa bahagia dan bangga saat mendengar bahwa adikku yang dulu sangat dekat dan menjadi sahabatnya, selalu bersama dalam untung dan malang, kini telah menjadi seorang raja. Bibirku senantiasa tersenyum membayangkan betapa senangnya nanti sahabatku bertemu denganku
Saat ini aku telah menempuh perjalanan berhari-hari untuk mengunjungi saudaranya Sucitra yang saat itu telah menjadi raja negara Pancala, sekarang namanya berubah menjadi Drupada. Oh Sucitra, memang engkau sahabatku yang sangat hebat, aku bangga sekali mempunyai saudara seperti engkau.
♦♦♦
Durna teringat ketika dahulu keduanya masih menjadi siswa Resi Baratwadya mereka sangat dekat, berperibahasa makan sepiring bersama, minum semangkuk bersama. Bahkan ketika Sucitra kembali ke negaranya berjanji akan memberikan sebagian tanah negara kepada Durna.
Karena itu harapannya bila nanti bertemu dengan Sucitra, ia pasti akan disambut dengan penuh keramah tamahan sehingga akan merupakan pertemuan kenangan masa lalu yang sangat indah.
Durna, berhenti sesaat didepan gerbang keraton istana. Megah sekali…, dia memberanikan diri untuk masuk kedalam keraton, dan demi dilihatnya saudaranya mengenakan pakaian serba indah, disapanya dia dengan kata-kata penuh kerinduan.
“Sucitra-sucitra, saudaraku sahabatku… lama sekali kita tidak bertemu, apa kabarmu teman…?”
Tetapi apa yang terjadi, lain harapan yang diangankan lain pula yang dialami, diluar dugaan budi perangai Sucitra tidak seperti yang diharapkannya sebagai teman lama sependeritaan.
Durna menggosok-gosok matanya apakah benar dia Sucitra?.. ya benar tidak salah lagi dia pasti si Sucitra…
Sucitra yang kini bernama Drupada itu memperlihatkan muka dingin, muram, yg berpikir mengapa ada orang dekil yang kurang ajar memanggil-manggil namaku dengan sangat tidak sopan, lalu dimana letak wibawaku sebagai seorang raja, namun demi dilihatnya yang memanggil adalah saudaranya dulu, terkejutlah hatinya, wah hina sekali keadaannya kini, kalau semua orang tahu bahwa aku saudara orang yang sehina ini apa jadinya dengan gambaran raja mulia dan berwibawa yang selama ini aku bangun.
Sucitra yang telah berubah menjadi Drupada itu berucap ketus:
“Hei, siapa engkau … beraninya mengaku-aku saudara dan sahabat karibku. Sejak kapan aku bersahabat dengan kau. Tidak mungkin seorang raja agung seperti aku bersahabat dengan seorang pengemis seperti engkau. Dasar gelandangan tak tahu diri,” ujarnya sambil memlengoskan muka. Tak tahan hatinya dengan tatapan mata saudaranya itu.
Durna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata yang menyakitkan seperti itu.
Tapi ia masih mencoba mengingatkan saudaranya tentang masa lalu yang tak akan terlupakan itu, hanya saja kata-katanya berbeda dengan yang tadi:
“Oh, maaf beribu maaf tuan. Hamba memang orang dari dusun tak tahu sopan santun. Sikap hamba tadi karena hamba mengira tuan masih seperti tuan yang dahulu ketika kita bersama-sama menuntut ilmu dan, …”
“Cukup!,” bentak Drupada memutus pembicaraan Durna. “Itu pengakuan yang tidak akan pernah terjadi dan hanya dibuat-buat agar aku mau mengakui bahwa kaubenar sahabatku. Aku memang pernah berguru ilmu, tetapi tidak pernah seperguruan dengan orang serendahmu,” kilahnya.
Seterusnya Drupada menyerocos dan menuduh Durna sengaja hendak mempermalukan dirinya di hadapan para mantri Bupati yang hadir saat itu.
Sementara patih Gandamana, pengawal sang raja yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Durna, yang memanggil nama kecil raja dengan tidak sopan, menjadi naik pitam. … Memang sekarang ini banyak orang yang mengaku-aku sahabat atau saudara raja supaya mendapat perlakuan istimewa…. begitu banyak penjilat yang menjijikkan.
Karena rasa rindu Durna memaksakan kehendaknya untuk memeluk sadaranya, sementara anaknya Aswatama diletakkan di rerumputan,
Namun perbuatan itu dianggap dan diterjemahkan menjadi serangan kepada raja maka dengan sigap semua pengawal serentak menahan Durna agar tidak melanjutkan perbuatannya.
Demi menghindari salah paham, Durna membiarkan dirinya dipukuli oleh pengawal kerajaan Drupada atau Sucitra, namun karena tidak tahan lagi dan berniat melarikan diri setelah terlebih dulu aku berlari mengambil anakku Aswatama.
Gandamana yg kesal melihat ada penjilat datang lagi ke istana raja, tak ayal lagi diseretnya orang itu keluar Keraton dan dihajar habis-habisan hingga tak sadarkan diri, lalu dibuang ke tengah hutan belantara.
***
Aku berlari kedaerah perbatasan dan para perajurit mengejarku, sebenarnya mereka bukan tandinganku. Karena sudah diluar istana aku menghadapi para prajurit itu dan dalam sekejap, para prajurit dan pengawal perbatasan aku kalahkan dan aku masuk ke kota raja Pancalaradya lagi, karena aku tidak ingin bermalam di hutan. Di tengah kotaraja, aku dan anakku Aswatama dikepung prajurit lagi. Rupanya khabar dari perbatasan telah sampai di sini.
Aku tidak gentar. Aku letakkan lagi Aswatama dan aku mengamuk, setiap prajurit yang menghalangi aku robohkan. “Ayah!” aku berhenti mengamuk, ketika mendengar jerit anakku.
Aswatama disandera. Aku menjadi lemas seketika, dan menyerah, agar Aswatama tidak dilukai. Segera setelah aku berhenti melawan, ada utusan raja yang memerintahkan agar aku beserta Aswatama dibawa masuk menghadap raja.
Utusan raja dan pengawal menyeret kami masuk menuju ke Bangsal Kencana, tempat Prabu Drupada menunggu.
Berdebar hatiku melihat dari jauh Raja Pancalaradya. Apakah dia berubah pikiran dan membuat siasat ini agar bisa bertemu aku tanpa rasa malu?
Sebenarnya aku juga ragu apakah raja ini adalah Sucitra adikku? karena nada bicara dan kelakuannya sangat jauh berbeda degan adikku, namun ketika semakin dekat, benar yang aku duga, ia adalah adikku. Aku berteriak keras-keras. Sucitra! sembari mendekap erat-erat penuh sukacita.
Prabu Drupada terkejut. Ia hampir jatuh di lantai karena menahan dorongan tenagaku yang kegirangan. Gandamana adik Drupada, kuatir keselamatan raja. Dengan marah ia menyeret dan menghajarku di luar istana.
Aku sengaja tidak melawan. Harapanku agar Sucitra keluar dan menghentikan perbuatan Gandamana, kemudian mengajakku dan anakku memasuki Kedaton untuk saling melepas rindu.
Namun sampai badanku remuk dihajar habis-habisan, Sucitra tidak keluar juga. Aswatama menangis keras sekali, melihat aku dihajar Gandamana.
Setelah aku tak berdaya, Gandamana dan para Prajurit mengusir kami berdua. rupanya mereka puas telah bisa membalas kekalahan prajurit dan pengawal perbatasan. Mana bisa prajurit dikalahkan gembel pengemis sehina ini?
Sembari menagis sepanjang jalan, Aswatama yang biasanya aku gendong, berusaha menuntunku. Anakku yang sedemikian kecil telah mengerti arti mencintai orang tua.
Di sepanjang jalan kami tidak berjumpa orang. Mungkin mereka menyingkir ketakutan, karena menganggap aku penjahat yang sedang di hukum raja.
Sesampainya di sebuah sendang, Aswatama membantu aku membersihkan darah disekujur badanku yang mulai mengering. Wajahku rusak, lengan kananku remuk. Sucitra… Sucitra, mengapa engkau sengaja membiarkan aku dihajar oleh adikmu?
Mungkinkah engkau tidak ingat lagi wajahku, suaraku, kakakmu si Kumbayana.? Mustahil! Ataukah engkau sengaja melupakan aku, mengubur masa lalulumu? Dhuh Dewa, apakah dosaku, benarkah aku kuwalat dengan orang tua? hinga aku mengalami nasib seperti ini?
Aswatama memandangku penuh kesedihan. Ia tidak menangis lagi, air matanya telah habis. Hatinya menderita…….
Aku lebih menderita, bukan karena penderitaanku, melainkan karena melihat penderitaan anakku, satu-satunya harapan hidupku.
Oh ngger, bocah bagus, Aswatama.
Bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan didepanmu. Pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana.
Durna terbangun sadar berada di hutan belantara hanya berdua dengan anaknya yang masih kecil, pasti anaknya sedang kelaparan, perih sekali tubuhnya.. kakinya terasa sakit dan sulit digerakkan, perutnya terasa tidak enak dan lapar sekali… namun yang paling parah adalah hatinya… sakit sekali karena telah terluka.. dilukai oleh saudaranya sendiri.
Sesaat Durna berusaha bangkit dan duduk diantara akar akar pohon. Perasaannya tak menentu. Mengapa adiknya begitu tega… apakah harta benda dan kuasa bisa mengubah kebaikan hati seorang saudara…
Sedih sekali Durna melihat kearah kakinya. Akibat penganiayaan berat Gandamana dan tentara kerajaan sahabatnya itu, kini tubuhnya menjadi cacat, hidungnya benkung, mata picak sebelah, tangan sengkong bekas diplintir hingga patah tulangnya.
Dalam keadaan tubuh rusak ia memaksakan diri berjalan sambil merasakan sakitnya lahir dan batin.
♣♣♣
Siang malam kami berjalan, menggendong dendam, menyusuri jalan penderitaan, memilih tempat terpencil jauh dari keramaian. Akhirnya kami temukan tempat yang cocok sebagai tempat tinggal. Untuk menyembuhkan luka-lukaku. Aku memeperdalam ilmu untuk bisa mengajarkannya kepada Aswatama.
Satu, dua orang perantau yang nyasar ketempatku, tertarik untuk berguru.
Jadilah tempat tinggalku sebagai padepokan kecil, aku namakan Soka Lima.
Diantara cantrik-cantrikku, belum kutemukan bakat menonjol, untuk kuajari ilmu-ilmu andalan. Agar dapat membalaskan dendamku.
Rata-rata mereka berkemampuan sedang, termasuk Aswatama. Aku mendambakan murid yang pandai, bahkan kalau bisa yang amat pandai.
Jika aku tunggu terus mungkin akan terlalu lama. Maka aku putuskan untuk menyisihkan waktu, mencari di pusat pusat kota.
Pada akhirnya , aku dipertemukan dengan murid andalan pada saat para Kurawa ingin mengambil cupu lenga tala di sumur tua itu.,. Aku merasa lega mendapat murid pandawa berlima.
Dibenakku telah tergambarkan, mereka yang mampu mengobati sakit hatiku, dengan membalaskan dendamku kepada Drupada dan Gandamana.
Maka mulai sekarang aku berharap mereka belajar penuh semangat dan ketekunan.
Akan aku ajarkan ilmu-ilmu terbaik yang aku miliki.
♦♦♦
Dengan membawa luka hati dan luka cacat ditubuh, akhirnya tibalah aku di sebuah negara yang tidak lain adalah negara Astinapura. Nasib baik telah menanti berkat ilmu yang tinggi. Aku diangkat oleh Arya Bisma menjadi guru besar jurusan ilmu perang menggunakan senjata dan strategi perang. Sedang mahasiswanya terdiri dari keluarga kerajaan yaitu Kurawa dan Pandawa.
Bertahun-tahun sudah aku membina kedua golongan keturunan Barata dan melahirkan manusia-manusia berjiwa ksatria. Sekalipun demikian luka hatiku oleh Drupada menjadi obsesi yang tak terlupakan. Peribahasa luka di badan masih dapat disembuhkan, luka di hati sulit dihilangkan. Ia ingin membalas tetapi tanpa harus melukai tubuh wadat orang itu.
Ia hanya ingin mempermalukan saudaranya itu, seperti pernah ia dipermalukan di hadapan para Menteri Bupati Pancala. Karena itu ia ingin menangkap Drupada tapi tidak oleh tangannya sendiri, melainkan oleh murid-muridnya. Untuk itu ia harus meningkatkan ilmu perang murid-muridnya untuk menghadapi balatentara Pancala.
♦♦♦
Demikianlah suatu hari Durna memanggil murid-muridnya untuk dicoba keterampilan menggunakan senjata panah. Sasarannya seekor burung yang hinggap di dahan pohon.
Caranya diatur secara adil dimulai dari Yudhistira. Sebelum diperkenankan melepas anak panah, sang guru bertanya dahulu: “Kau harus awas terhadap burung itu, coba lihat, selain burung apa lagi yang kau lihat menurut ciptaanmu?”
Berkata Yudhistira: “Selain burung hamba lihat batang pohon, wujud bapak guru dan keempat saudara saya.”
Sang resi mengulangi pertanyaan yang sama dan dijawab dengan jawaban yang sama pula. Resi jengkel mendengar jawaban yang itu-itu juga, lalu katanya:
“Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena, ayo minggir.” tukasnya ketus.
Giliran Duryudana, sang guru bertanya dengan pertanyaan yang sama yang dijawab oleh Duryudana:
“Selain burung saya lihat daun bergumpluk banyak sekali, kemudian dahan dan ranting, kemudian euu, kemudiannn euuu…..”
“Sudah, sudah, sama bodohnya, ayo minggir.” katanya jengkel. Demikian para Kurawa dan Pandawa telah mendapat giliran, tetapi semua jawaban tidak satu pun yang memuaskan sang guru.
Terakhir giliran Arjuna lalu ditanya: “Apa yang kau lihat disana” “Burung,” jawab Arjuna. “Selain burung apalagi yang kau lihat?”
“Saya tidak melihat apa-apa selain badan burung,” jawabnya. Mendadak wajah sang resi berseri, tapi ia bertanya lagi: “Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu warnanya.”
Tetapi Arjuna hanya menjawab: “Yang kelihatan hanya kepalanya.”
Seketika sang guru memerintahkan: “Lepaskan anak panah itu.”
Dan melesatlah anak panah suaranya bersuling tepat mengenai sasarannya hingga burung itu jatuh ke bumi, disambut tampik sorak para siswa tanda gembira atas keberhasilan Arjuna.
Demikianlah di hadapan murid-muridnya ia mengharap rasa setia kawan dan hutang budi yang dalam hingga bila diperintahkaan kelak, mereka mau menangkap si Sucitra tanpa dilukai.
Dengan kedekatan mereka sebagai guru dan murid, sedikit banyak mereka tahu cerita tentang apa yang menyebabkan cacat tubuh guru mereka, yang mereka hormati itu.
Suatu saat Duryudana, ketua kelompok Kurawa, unjuk diri karena ingin mendapat nama sebagai murid yang paling menyayangi guru
Dia lalu berkata: “Bapak guru, luka hatimu adalah luka hati di hatiku. Karena itu akulah yang akan menyeret si Drupada itu ke hadapanmu,” katanya pongah.
Maka tanpa minta restu dahulu, berangkatlah ia dengan kelompok Kurawa menuju negara Pancala. Tetapi apa hasilnya, mereka hanya pulang dengan tangan hampa bahkan babak belur dihajar tentara Pancala dan langsung pulang keasramanya karena malu unjuk muka.
Giliran Pandawa mohon restu menangkap Drupada.
Durna berpesan: “Anakku Pandawa, meski hatiku sakit tangkaplah ia tanpa kau lukai. Balaslah kejahatan dengan keadilan dan balaslah kebaikan dengan kebajikan, camkan itu.” pesannya.
Berangkatlah para Pandawa menuju Pancala. Selang berapa lama Arjuna berhasil menangkap Drupada dalam keadaan utuh dan membawanya ke hadapan Dorna.
Drupada duduk termenung menanggung malu tak berani bertatap mata dengan Dorna.
Ia telah merasa sakit sebelum dianiaya. Terbayang kembali dalam ingatannya ketika Dorna datang menemui tapi tak diakui, bahkan dihina dan ia menjadi tawanan untuk menerima pembalasan bahkan mungkin nyawa melayang.
Ia terkejut ketika Durna menyapa:
“Selamat datang paduka raja agung negara Pancala. Hamba mohon maaf belum bisa menerima paduka dengan selayaknya. Maklumlah hamba hanya seorang pengemis hina tak berharga.” ujarnya menirukan kata-kata penghinaan Drupada kepadanya dulu.
“Oh, kakang Dorna, aku terima salah telah membuat kakang sakit lahir dan batin. Tetapi juga waktu itu kakang tidak menghargai aku sebagai raja. kakang masih menyamakan aku sebagai orang biasa dengan berteriak-teriak memanggil namaku dibawah sorotan puluhan mata para sentana praja dan mentri bopati, sehingga aku merasa dipermalukan,”
Drupada coba memberi alasan. Dorna tertunduk mendengar alasan yang benar dan tak menyalahi. Tapi kemudian ia menjawab:
“Hamba merasa bersalah tak tahu sopan santun sehingga mempermalukan paduka di hadapan para menteri bupati walau di saat itu juga hamba sudah memohon maaf itu tidak berarti sedikit pun bagi paduka.”
“Malah lebih dari itu paduka tega membiarkan hamba diseret dan dianiaya oleh pengawal paduka. Padahal kita pernah bersahabat bagaikan kakak adik,” ujarnya dengan nada sendu.
“Yah, aku memang bersalah, kini terserah mati hidupku ada ditangan kakang,” katanya pasrah.
“Jangan samakan diri paduka dengan hamba. Mana mungkin orang kecil seperti hamba berani berbuat keji, walaupun paduka telah mengiris-iris hati hamba dengan pisau kebencian hingga terasa pedih tak terperikan, tetapi rasa kemanusian hamba tak mengizinkan membalas dengan cara seperti pernah paduka laukan terhadap diri hamba.”
“Sebab bagaimanapun paduka adalah bekas sahabat karib hamba ketika sama-sama menjadi siswa resi Baratwaja. itu pun kalau paduka masih mengakui kita bekas teman akrab,” ujarnya.
“Lalu apa maksud kakang sekarang aku telah menjadi tawananmu,” tanyanya.
“Hamba akan menagih janji yang pernah paduka ikrarkan ketika di perguruan, bahwa paduka akan menganugerahkan separuh tanah dari kerajaan Pancalareja kepada hamba. Itulah yang harus paduka genapi sekarang juga,” tukasnya dengan nada serius.
Seketika terdengar suara orang banyak mengatakan rasa puasnya terhadap keputusan Durna. Sementara yang lainnya mengatakan, bahwa Drupada seharusnya merasa beruntung karena tidak dianiaya seperti dahulu dialami Durna.
Mendengar umpatan itu Drupada yang rasa ke-aku-annya sangat tinggi merasa sangat malu. Dalam hatinya ia berkata, ternyata Durna lebih kejam dari dugaannya semula. Biarpun tak disakiti tapi dipermalukan di hadapan orang banyak menyebabkan hancurnya keagungannya. Belum lagi ia harus menyerahkan sebagian tanah kerajaan yang kesemuanya tak dapat dinilai dengan harta benda.
Kini dendam menimbulkan dendam .. hilanglah rasa persahabatan yang dulu sangat indah, dalam hatinya ia berjanji akan membalas sakit hatinya kepada Durna.
Begitulah nafsu itu bagaikan hawa tiada tepinya, maka saling mendendam pun tiada habisnya.
Langganan:
Postingan (Atom)